Catatan Tipis; Pergi Untuk Pulang
"Mudik"
Halo, apa kabar? Saya harap ditengah masa pandemi ini, kita semua baik-baik saja. Tentunya dengan Harapan, kita semua memiliki kondisi tubuh yang sehat, dan bisa berkumpul dengan orang-orang terkasih.
Berbicara tentang orang yang
terkasih, beberapa waktu yang lalu saya
telah melakukan ritual yang wajib dilakukan bagi seorang perantau. Yaitu mudik.
Sebuah perjalanan pulang untuk kembali menemui keluarga yang lama ditinggalkan.
Pulang dengan membawa sejuta rindu yang telah lama diperam. Lama dan teramat
masak.
Lalu bagaimana dengan rumah? Ya,
rumah selalu menawarkan cerita baru selepas kita pulang. Adik-adik yang semakin
besar, keponakan-keponakan yang lebih ‘lihai’ bermain telepon gengam dibanding
memasang jerat untuk menangkap burung punai. Atau, sekedar memasang kail untuk
memancing ikan kapar yang ada di rawa-rawa, di seberang rumah. Ternyata, jauh
kita pergi jaman telah banyak berubah ya kawan? Menyebalkan.
Jalan Pulang |
Namun tak apa, meski banyak hal
berubah, tidak dengan Ibu. Ia yang masih terampil mengolah penganan, yang
pikirnya tak baik bila meja makan kosong tanpa terisi sedikit pun oleh cemilan.
Ibu yang selalu terampil terhadap bahan mentah yang kemudian disulapnya menjadi
sebuah sajian yang istimewa. Dan ia tak pernah berubah, yang selalu menganggap
kita sebagai anak kecil di matanya.
Dan lagi tentang rumah. Ada berita.
Orang-orang di kampung yang mulai ramai membangun 'hotel-hotel' untuk burung walet. Yang
tinggi betul bangunannya. Ada yang setinggi pohon kelapa, bahkan bisa lebih dari itu. “tak main-main duitnya”, kata
orang-orang di kampung dengan mengeleng. Ya tak main-main juga duit untuk
membangunnya, pikirku.
Entahlah, Gedung-gedung walet makin
tegak dan angkuh berdiri, ditengah hutan yang mulai permisi untuk pergi.
Permisi, dan perlahan berganti dengan berhektar-hektar pohon sawit juga. Aku
hanya mengelus dada sambil bergumam tipis, “kami juga butuh makan rupanya”
Dan sekali lagi tentang rumah. Apa pun
itu, dan bagaimana pun itu, rumah selalu menjadi alasan untuk Kembali. Kembali untuk melepaskan
penat dan rindu yang teramat dalam. Dan pulang untuk membawa pesan, bahwa seberkas
cahaya itu kelak akan datang.
Salam.
Menarik cerita pulkamnya, mas.
ReplyDeleteBikin keingetan saat dulu aku kerja merantau dan saat pulkan radanya seneng bangeeet ...
Sekarang setelah menetap di kampung sendiri, bawaannya pengin merantau lagi, hehe.
Enak jadi perantauan sih menurutku.
Iya mas, rasanya menjadi oerantau, memang selalu tertanam idealisme tersindiri. Dan rasa rasanya, perantau adalah orang yang berjiwa tegar
DeleteSependapat, mas.
DeleteHidup jauh di perantauan mengajarkan banyak hal, salah satunya pandai menangani permasalahan sendiri.
Kemarin aku juga baru pulang kampung, memang pulang ke kampung halaman selalu ngangenin biarpun sering melakukan nya tiap tahun. Cuma disini tidak ada yang bikin hotel untuk sarang burung walet.😄
ReplyDeleteHehe, memang entahlah kampung halaman yang selalu dirindukan
Deletewow diksinya benar benar apik dan puitis ya mas
ReplyDeletesaya tadi ngliat kata Pulang dengan membawa sejuta rindu yang telah lama diperam. Ini terasa klasik indahnya..
burung punai? seperti apa itu ya...ya semasa kecilpun saya lebih banyak nyeser udang di kali sih bukan rasa rawa...pokonya dekat irigasi yang debit airnya kencang dan ada koloni tanaman enceng gondok di pinggirannya. Kalau sekarang memang mayorutas sudahbcekelan henpun. Begitulah jaman sekarang ya..hehe, sama sih saya pun lagi banyak agenda pulang kampung dan ibu tetap ga berubah dengan tawaran masakan tang jauh lebih enak krmana mana ketimbang warung makan termahal di perantauan hehe
memang seru jadi anak anak kak, hehe saya waktu kecil juga suka main-main ke kebun dan mancing. Tapi entahlah, anak sekarang sepertinya sudah tidak doyan lagi kelayapan, lebiih senang main hape.
Deletebenarvloh mas supriyadi saya saja pegang hape itu usia kuliah, jadi jaman cilik memang full main hihi..memang beda era sih ya...tapi harus adaptaai juga kitanya ya..
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMenyimak gambaran dalam artikel ini, kita sama-sama berasal dari pinggir pantai, ananda Supriyadi. Ada burung punai, pohon damar yang mengeluarkan getah, memasang kail untuk memancing ikan, rawa yang berada di seberang rumah, dan kini hotel pengap untuk burung walet menitipkan rupiah. Namun kini zaman telah berubah. Permukaan bumi di kampung halaman telah ditutupi pohon sawit. Milik kaum berduit. Sementara penduduk asli hampir putus jari digigit. Selamat sore, senang kenal sama anak muda. Supaya bisa ketularan ilmunya.
ReplyDeleteTerimakasih bu sudah berkunjung. Senang juga ternyata ibu merasakan bayangan tentang kampung halaman. Dan semoga Kampung halaman kita tetap ada dengan kearifannya, meski jaman telah berubah. Dan salam kenal juga, Semoga ilmu ibu menular ke saya :)
DeleteSangat keren. Sdh ada iklannya pula.
ReplyDeleteKasih saran dong lapak saya biar bisa keren juga
Wah terimakasih pak. Blog saya biasa saja (hehe). Saya juga baru belajar dan aktif ngeblog. Saya juga banyak mengunjung beberapa Blog keren dari blogger yang lain, jadi bisa menambah wawasan dan inspirasi. Dan untuk iklan, saya belum ada satu bulan menambahkannya. Itupun juga belajar dari blogger yang lain pak. Setahu saya usia blog minimal satu tahun, dan harus aktif. Kemudian mendaftar ke google adsense.
Deletehehe, begitu kurang lebih pak. maaf bila penyampaianya kurang memuaskan, sekali lagi terimakasih.
wahhhh menarik ceritanya mas... boleh dibukukan suatu hari nanti...
ReplyDeletebercakap fasal mudik, sudah lebih 2 bulan saya tidak mudik ke kampung gara-gara larangan rentas daerah akibat pandemik. semalam lanjutan perintah sekatan sampai bulan hadapan... waaaaa saya tak mahu berhari raya di kuala lumpur macam tahun lepas waaaaaaaa
Terimakasih, waw saranya keren. mungkin nanti bisa menulis buku tentang blog ini ya. amin.
DeleteDan semoga pandeminya segera berakhir, supaya kita bisa mudik dengan bebas tanpa halangan.
p/s mas, mana button FOLLOW nya?
ReplyDeletewah iya ya, tombol follownya belum ada. tapi ada tombol subcribnya kalau mau subscribe di pojok kanan atas. hehe saya juga baru baru belajar blogging.
Deletesudah saya tambahkan tombol follownya. :)
DeleteKmaren mas .. hampir tiap pekan mudik soale rumah ibukku dan rumah mertua cuma beda desa hehe.
ReplyDeleteKadang anak anak kami sampai pengen merasakan mudik.pura pura mbahnya rumahnya jauuuh. Demi keinginan merasakan seperti itu, saya dan suami beberapakali muter jauuh dulu, cuma iseng naik mobil keliling keliling ke beberapa wilayah sebelum akhirnya mencapai rumah simbahnya anak anak di sore hari :)
kok saya mesem-mesem mbayanginnya ya? hehe
Deletesalam buat keluarga mbak, tetap sehat dan selalu sehat.
Kampungku dulu penuh dengan sawah dan tanaman-tanaman surga, sejak tanah dibeli pabrik semen semua kenangan masa lalu hanya kenangan, tidak ada lagi nostalgia dengan teman-teman kecil disawah..
ReplyDeletesemua cepat berlalu, kenangn hanya kenangan...
Iya mas, Saya juga terkadang merenung, jika memang memang ini sudah takdir, tak salahnya kita terus berbuat baik menghadapi perubahan jaman dan keadaan yang semakin "Edan" ini.
DeleteSalam
Very nice post!
ReplyDeleteYeah, thanks friend for visiting my blog.
Deletethis article, telling about "home" and my feeling for my future.
i hope you enjoy it.