Saya Menyesal Kuliah Teknik.
"Kenapa"
“Sepertinya saya menyesal kuliah
Teknik”
Sebuah kalimat yang selalu terbesit Ketika beban pekerjaan datang
mendera. Permasalahan teknis yang tak kunjung selesai, dengan waktu yang selalu
menuntut cepat, rasanya seperti seorang tawanan perang yang bersiap untuk
diesekusi mati oleh serdadu tempur
dengan moncong senapan yang tepat berada di kepalamu. Tegang, keringat
bercucuran, serta membuat nadi menyempit
dan detak jantung berdegub tak karuan.
Ingin mati saja rasa-rasanya.
Sumber : Pixabay |
Tentu saja, dengan waktu nyaris lima tahun berada di bangku perkuliahan, isi kepala saya rasanya jauh lebih fasih mengingat kembali bagaimana cara naik gunung yang benar ketimbang berurusan dengan kabel-kabel yang melilit tak karuan. Saya masih mengingat kenangan saat deras di guyur hujan bersamaan dengan dingin yang tajam menusuk tulang. Yang rasa-rasanya saya jauh lebih candu menikmati rasa sakit itu ketimbang pekerjaan ini.
Karena pekerjaan pula, yang membuat saya acap kali mengeluh karena tak teraturnya jam tidur. Bagaimana tidak, saat ada gangguan terjadi, mau tidak mau saya harus bersedia terjun kelapangan dan berusaha menyelesaikannya secepat mungkin. Meskipun hal itu terjadi di tengah malam atau dini hari. Bahkan durasi pengerjaan yang tak pasti kapan selesai, rasanya membuat badan maupun pikiran menjadi sangat letih. Belum lagi bila angin malam yang datang tak tahu diri, berhembus seenaknya membuat tubuh semakin kedinginan olehnya.
Ya, beberapa kalimat diatas
sejujurnya adalah rangkuman dari keluh-kesah yang menyeruak dari dalam kepala
saya. keluh-kesah yang akrab dengan umpatan-umpatan kecil yang keluar dari dalam
mulut, menyoal permasalahan yang timbul. Permasalahan yang menjadi makanan
sehari-hari, bahkan yang berkaitan dengan keselamatan jiwa.
Namun semua itu berubah ketika pagebluk
bernama korona ini melanda. Ya, korona yang kecil itu merubah cara pandang saya
dalam memaknai sebuah tantangan dalam hidup, termasuk dalam pekerjaan.
Yang karenanya, jutaan orang
terpaksa harus berhenti dari pekerjaan mereka sampai pada waktu yang tidak
diketahui. Toko, pasar dan pusat-pusat perekonomian mengalami kelesuan. Jual
beli pun tak ada lagi gairahnya. Pun jika ada yang masih beruntung dapat
bekerja, itu pun dengan konsekuensi pemotongan jam kerja, yang berimbas pula pada
kebijakan pemotongan gaji.
Dengan kondisi yang serba tak
menentu saat ini, saya masih bisa bersyukur karena untuk sementara waktu, tempat
saya bekerja belum menerapkan kebijakan pengurangan jam kerja. Saya masih bisa
bekerja seperti biasa, saat seperti pagebluk ini belum terjadi. Saya masih bisa
berangkat ke kantor pukul delapan pagi, dan pulang pada pukul enam sore
setelahnya. Dan yang pasti, semuanya masih berlangsung normal tanpa ada
perubahan yang berarti.
Kondisi semacam ini mengingatkan
saya kembali pada secuil kalimat berbahasa jawa yang mengatakan, “Urip iku sawang-sinawang…”
yang secara harfiah berarti, hidup itu hanya tentang memandang dan dipandang. Yang bermakna, apa
yang terlihat di mata kita terhadap kondisi orang lain, belum tentu baik seperti apa yang kita lihat.
Demikian juga sebaliknya pandangan orang lain terhadap kita. Jadi
bersyukur atas apa yang kita miliki kemudian menjalaninya dengan sepenuh hati dan penuh syukur, rasa-rasanya mampu membuat hidup jauh lebih bermakna
ketimbang mengeluh.
Lantas, sudahkah kita bersyukur hari ini?
Lantas, sudahkah kita bersyukur hari ini?
"Urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang"
-Nn-
-Nn-
Sangat betul pepatah Jawa kui, mas.
ReplyDeleteWang sinawang bisa juga disamakan sama istilah 'rumput terangga kebih hijau' ..., belum tentu seindah seenak di mata orang lain.
Tinggal gimana cara kita menyikapinya saja.
Semangaat, ya :)!
betul bang selalu dan harus semangat tentunya!
Deletewah semangat mas, memang tiap pekerjaan kadang ada masa jenuh dan pengen misuh ya, dulupun aku begitu...tapi setelah resign kok kadang kangen lagi padahal dulu rasanya tiap naik krl mau ke kantor yangvjaraknya puluhan kilo dari rumah berasa nangis batin sembari vertanya tanya sebenernya apa sih yang aku cari huaaa #mellow...tapi setelah resign kok kangen berpetualang kayak duku xixiixix...memang diri ini kadang ga ada puasnya
ReplyDeleteohya baca kalimat awalnya takjub karena ternyata hobi munggah gunung ya, kebetulan aku suka banget nonton video orang naik gunung walaupun blom oernah praktik hiking sekalipun :D
wah, harus nyoba naik gunung nih, tapi harus cuti sepertinya. hehe
Deleteseorang teknisi memang dituntut untuk terus belajar berkembang, mengatasi hal-hal yang baru.. semangat mas, tetap bersyukur :)
ReplyDeleteiya bang, betul. harus semangat ini.
DeleteMemang terkadang apa yang kita harapkan belum tentu sama dengan kehidupan yang kita jalani. Begitupun jejang pendidikan yang kita tempuh.
ReplyDeleteKarena perbedaan warna kehidupanlah yang membuat kita bisa lebih menjadi manusia yang bersyukur.😊
Iya, semakin kita melihat yang lain seolah lebih baik dari yg kita miliki. Padahal belum tentu demikian. Rasa-rasanya bersyukur adalah nikmat yang tiada tara
Deletekalo soal pendidikan saya juga punya alur yang aneh, smp ambil exschool elektro, smk ambil otomotif, padahal hobi saya di komputer haha..
DeleteWah, bisa gitu ya? keren tapi. Memang, hidup kita sebagai manusia tidak bisa dibaca jalannya. Menjalaninya sebaik mungkin, adalah pilihan terbaik, di samping terus berusaha mencapai ikigai.
Deletemanusia kan emang punya cuma bisa berencana doang, yang nentuin jalan hidup seseorang tetap Allah
DeleteNganu mas biar semangat , kabel kabelnya dijerengi dipasangi di gunung lawu sajaa hehe..
ReplyDeleteSaya bukan orang teknik, tapi cukup tahu rasanya kerjaan orang teknik.soale bapake thole itu lulusan teknik elektro yang kerja di perusahaan swasta ☺
Tapi ya itu, setuju banget, seberat apapun sejenuh apapun, kita masih harus bersyukur masih punya pekerjaan di masa pagebluk ini.
Tetep semangat yaa mas ngurusi kabel kabelnyaa
Hehe, iya mbak. Kalau bisa maunya gitu, narik kabel sambil naik gunung. Hehe
Delete