Cerita Pendek ; Selembar Surat Untuk Muin.
"Bulan Berdarah Malam Ini"
Didalam sepi
yang erat mendekap, seorang pria muda tampak lusuh dalam setelan kemeja jeans biru miliknya. Warna biru yang
memudar, kusam dan kotor karena kerak debu yang menempel pada tepian kerah, serta
lengannya. Seakan-akan hendak bercerita
tentang jalan hidup pria ini. Bercerita tentang jalan takdir yang harus dijalaninya.
Barangkali hari ini, esok atau lusa. Antara gelap dan terang, antara suka dan
duka.
selembar
amplop coklat tua dengan tulisan alamat di sudut kanannya, telah teronggok lama
di atas meja. Diam dan bisu menanti untuk dibaca. Menanti seseorang yang tidak
lain dan tidak bukan adalah pria dengan setelan kemeja jeans lusuhnya. Yang sedari tadi hanya melayangkan pandang pada
hilir-mudik kendaraan dari bingkai jendela. Lampu-lampu jalan terang berpendar,
bintang-bintang di langit bercahaya semburat tak menentu ke segala arah. Sama
tak menentunya dengan pikiran sang pria kala itu.
Di
tangan kiri, Kretek dengan asap liar mengepul di udara, sementara Amplop coklat
telah berada ditangan kanan. Diterawangnya kelangit-langit Amplop itu,
sementara cahaya lampu yang silau menimpa tulisan yang tertera - “Kepada
Sdr/Sdri Muin Alkana S.T. ” –apabila ada
kesalahan penulisan nama dan gelar kami mohon maaf.
Dahinya
mengerenyit, cerutu ditangan dihisap dalam-dalam. Dibukanya amplop coklat tua
itu, yang berisi dua buah surat. Lipatan-lipatan surat dibuka perlahan, lantas
dalam batin yang dalam ia mulai membaca....
*******
Kepada
Muin...
Sudahlah pergi
sana, bawa sekalian bunga dan segengam hatimu itu!
siapa yang sudi
bersandar dan bersanding denganmu, orang
yang kalang kabut dan gak jelas!
jangankan aku, tikus di got sana pun tak
sudi mencium aroma tubuhmu yang enggap
itu, M..u..i..n!
Hah, apalagi?
Tak usah kau memasang wajah memelas seperti itu. Kau memang pantas berada di
tempatmu, bukan disini. Tempat ini, hanya untuk orang-orang yang jelas
asal-usulnya, bobot-bebetnya . Lah kamu?
Cuih, najis.
Kudengar bapakmu
telah mati berkalang tanah, dimana pusaranya pun tak ada yang tahu, kasihan.
Mati tanpa tahu dimana bangkainya berada, mati tanpa tahu waktu dan hari apa.
Ya, kau boleh sedikit berbangga, bapakmu yang katanya tentara itu setidaknya tak
mati sia-sia.
Tapi, apakah
dengan bapakmu yang ‘Tentara’ itu bisa
meluluhkan hatiku Muin? Sekali-kali tidak! Apalagi ibumu yang kerjaannya
melacur di pasar ngramen tiap malam,
mana bisa jadi mertuaku. Aku ini orang terpandang Muin, coba kau lihat trahku, kau tilik garis buyutku. Aku lah
garis saudagar erros mengkasar, camkan
itu!
Jadi bila selama
ini aku berlaku ramah terhadapmu, sebaiknya kau tak besar hati dulu. Itu
semata-mata hanya karena aku kasihan padamu .
Bila sebelumnya
aku tersenyum, dan menjabat tanganmu, tolong ya itu hanya kepura-puraanku saja.
Apalagi waktu sabtu yang biru itu aku mau bergandeng denganmu, berjalan
mengeliling kota, itu hanya kebodohanku semata. Anggap saja begitu. Dan bila
waktu itu bensin motormu ngadat, dan
aku yang membayar, lupakan. Tak usah kau ganti. Anggap saja itu sedekahku
untukmu, yang hanya tersisa lembaran kusam dua ribu dan beberapa kertas catatan
hutang di dompetmu.
Dan
kenangan-kenangan sok manis yang dulu kau sarangkan padaku, tolong
ya lupakan saja. Kan sudah kubilang Muin, itu hanya kepura-puraanku. Tak lebih.
Apa lagi waktu itu hal bodoh baru saja kita lakukan, bisa-bisanya kau kecup
bibir tipisku kala mendung datang. Dan konyolnya aku bisa-bisanya membalas kecupmu itu. Entahla
Muin, setan mana yang merasuk kala itu. Jadi tolong anggap itu angin lalu. tak
lebih. Tak ada yang istimewa. Camkan !
Oh ya, jangan
kau ingat-ingat lagi pelukan hangat waktu itu, yang kita hantarkan saat kabut
tipis yang jahil itu datang. Sudah lupakan saja Muin. Pelukan itu pelukan basi.
Itu semata-mata terjadi Karena si dingin
yang lugu itu merayuku untuk jatuh kepelukmu. Si dingin pelo yang bersembunyi dibalik kabut tipis. Dan manusia pelo mana yang mau mati kedinginan
bersama dingin yang mencabik-cabik dan menusuk itu. Tentu saja aku tidak
mau Muin.
Ingat ya Muin,
aku TIDAK SUKA DENGANMU! AKU TIDAK CINTA PADAMU! Jadi segala bentuk pengorbanmu
selama ini hanyalah kesia-siaan, tak ada guna. Jadi, mulai sekarang berhentilah
berbuat baik padaku. Tak usah kau rayu-rayu, tak usah kau puji-puji aku lagi.
Dan jangan kau pasang wajahmu yang sok manis itu. Aku muak Muin!
Oh, kamu merasa
rugi? Kamu merasa berkorban banyak? Uangmu habis? Oh ya, uang yang kau pakai
untuk mentraktirku di Warteg tepi sungai itu? Oke, aku bisa mengantinya. Kau
mau berapa? Sepuluh ribu? Dua puluh? Atau lima puluh? Sejuta? Cuih! Berapa pun
itu, aku sanggup membayarnya Muin! Jangankan membayar ‘utang’ traktirmu,
membeli mukamu yang lusuh itu aku mampu!
Dan tentang hal
ini Muin, Puisi-puisi mu, sajak-sajakmu, mantra-mantramu itu sampah! Mereka
hanyalah segumpal hitam diudara yang bakalan lenyap tersapu angin. Sudah ya,
tak usah payah lagi kau sok mengarang
untukku. Kata-kata dan suaramu itu tak ada artinya, dan senyummu itu hanyalah berisi
hampa yang pilu Muin!
Lagian, sebulan lalu aku telah dipinang,
seminggu depan aku tak kan lagi melajang. Jadi berhentilah berharap padaku.
Gih, pergi sana dengan segumpal bahasamu yang tak penting itu. Aku tak butuh!
Muin asal kau
tahu, dia yang meminangku ini manusia yang jelas. Pria yang garis turunannya
tak ada bercacat. Bapakku tahu, bapaknya juga tahu. Diberinya aku sebongkah
batu giok cina dan beberapa gulden sebagai
seserahan. Sedangkan kamu? Ah, Muin,
Muin... sudahlah. Apa kerjamu Muin? Serabutan yang tak jelas!
Aku tentu masih
ingat, saat terakhir kau ucapkan
cita-citamu itu. Kau bilang hendak mengarung ke pulau seberang, sebentar-sebentar
bilang hendak berkelana ke negeri Cina. Eh, kuberitahu ya, jadi manusia itu
jangan ketinggian. Jadi manusia itu yang pasti-pasti saja. Jangan berlagak
hendak mengapai langit sedangkan separuh bumi saja belum kau rengkuh.
Bercita-cita hendak berkelana diangkasa luas, namun batas cakrawala sendiri pun
kau tak tahu. Muin.. Muin... begini kau mau meminangku. Hendak kau beri makan
apa aku? Anak-anakmu? Ampas babi pun tak akan sanggup kau beli !
Muin, yang lusuh
dan melas....
Dengan ini
kulampirkan, surat hajatku. Kau mau datang? Silahkan. Tidak juga bukan masalah
bagiku. Aku tidak rugi, tapi bila kau benar datang, tak usah kau repot-repot
membawa amplop. Tak usah kau isi guci-guci hajatku. Sekali lagi, aku tak rugi!
Lebih baik uangnya kau simpan untuk keperluanmu. Beli-beli baju yang bagus sana
gih ! rias-rias sedikitlah tampang kusammu itu. Oh iya, aku lupa. Mana cukup
uangmu untuk berbelanja, untuk makan saja masih mengharap dapur tetangga. Payah
!
Terakhir ya
Muin.
Ingat, aku
memberikan undangan ini bukan karena apa-apa. Ini hanya semata-mata aku pernah
mengenalmu. Tak lebih. Jadi jangan kau berpikiran macam-macam. Jangan kau kira
aku masih mencintaimu. TIDAK. Dan sekali lagi Muin, AKU TIDAK CINTA DENGANMU,
DAN AKU TIDAK AKAN PERNAH MENCINTAIMU.
Cukup Sekian.
**********
Sejenak dinding-dinding
diam membisu, udara dingin malam kian kuat menusuk. menyiksa batin yang erat didekap
sepi. Tatapan separuh kosong melemparkan pandangan tinggi ke langit malam,
dilihatnya bintang gemintang yang berkilauan di langit. Dan dalam sesaknya
ia bertanya, ”dimana bulan?”
Brakk.. !
pria dengan
kemeja jeans lusuhnya itu tersungkur
di lantai dengan peluh dan darah yang mengucur deras...
Aku suka sama ceritanya, ah tapi masih ada beberapa PUEBI-nya masih perlu diperbaiki ya kak.
ReplyDeleteAku sukanya, cerita langsung menceritakan tentang konflik yang dihadapi Muin. Sudah pernah terbitkah?
terimakasih kak, sudah berkenan membaca tulisanku yang "remah-remah" ini. terimakasih untuk sarannya, saya akan perbaiki dan belajar lagi. hanya matahari yang terbit tiap pagi di timur bumi, tapi tidak dengan tulisan ini. (hehe :) )
Delete