catatan perjalan ; aku di tengah pulau sulawesi pasca gempa, tsunami dan liquifaksi
"Palu yang Mengetuk Hati"
Aku
pernah mengarahkan pandanganku pada timur laut, untuk sedikit melihat
gelombang-gelombang air yang beriak dengan riangnya saling beradu temu, memberikan
suara deburan yang membentuk sebuah tangga nada harmonis antara mayor dan
minor. Yang menyatakan diriku berada
pada batas antara laut dan darat, antara basah dan kering.
Pernah
aku merasa ingin becengkrama bersama birunya lautan namun apalah daya, laut
menenggelamkanku. Berenang seberapa lamapun aku bersamanya, tentu payahlah yang
kudapat. Maka kuputuskan untuk berhenti
mengarunginya. Dengan separuh tenagaku
yang tersisa, maka kembalilah aku berlabuh ke darat.
Tentunya
aku juga pernah ingin merasa menjadi salah satu miliaran bintang di angkasa
yang luas, untuk bisa menari-nari bersama Sang Bulan saat malam tiba, akan
tetapi rasa-rasanya aku malah menjadi matahari, Dengan egonya mengejar bulan.
Namun apalah daya, bulan tak akan pernah bertemu dengan matahari. Saat Matahari
datang pada waktu siang, bulan telah pergi ke peraduan. Saat bulan muncul waktu
malam, rasa-rasanya miliaran manusia dibumi akan menghardiknya bila matahari
memaksa muncul saat malam tiba. “Biarkan malam untuk bulan, dan engkau pada
siang!” seperti itulah kira-kira ungkapan manusia-manusia dibumi. Matahari pun
sedih, maka dibiarkan cahayanya memancar hingga kebulan, kemudian bulan
meneruskan cahaya itu, untuk menerangi malam yang menghinggapi manusia-manusia
di bumi. Takdir berkata demikian.
Ya,
manusia-manusia memang begitu adanya, ringkih, suka mengeluh dan terkadang
tamak. Namun demikian, jika dirasa-rasa
kembali, ada bagian terlemah dari setiap manusia bila tersentuh. Yaitu hati,
hati yang menyangkut rasa. Rasa akan hidupnya, rasa dimana ia akan bertahan,
rasa dimana ia akan terbang, rasa dimana ia akan berpijak, bahkan yang paling
klise sekali pun, adalah rasa tentang cinta. Begitulah kira-kira sejarah
terkait manusia pernah dituturkan.
Mengingat
lagi tentang sejarah, rasa-rasanya setiap manusia memiliki alurnya sendiri. Ya, aku kembali berusaha mengingat guratan-guratan
hidup yang lalu tentang diriku, seraya mataku memandang jauh kepada garis
pantai yang panjang nan elok, pada pantai barat Donggala. Irama goyangan pada bak truk dyna bertenaga diesel yang kutumpangi, seolah-olah
membuat tubuhku seperti dalam ayunan pokong
ibu semasa kecil. Dibebatnya pada
sehelai kain batik coklat tanah, yang diikatkan pada tubuhku kala itu. Belum
lagi angin-angin pantai yang lembut nan tipis, datang membelai wajahku, hingga
membuai diri rasa ingin terlelap.
Truk
yang kutumpangi berhenti. Disaat matahari yang terik, dengan tegas memancar
tepat diatas kepala, memaksa tubuh untuk berkeringat lebih deras. Kudengar sang
sopir terlibat cekcok dengan pengemudi lain. Ternyata truk yang kami tumpangi
tak dapat melaju karena terhalang oleh sebuah mobil bercat perak. Maklum saja,
Karena gempa dan Tsunami yang menguncang, membuat tebing setinggi lima belas
meter pada sisi kanan jalan longsor, membuat separuh badan jalan tertutup oleh
tanah. Mau tak mau, Untuk melalui jalan tersebut harus dilakukan secara
bergantian. Namun, tak ada yang mau mengalah, masing-masing dari mereka masih kekeh dengan argument masing-masing. Tentu
saja, hal tersebut mengakibatkan kemacetan dan antrian panjang pada kedua sisi
lajur jalan. Aku bersama dengan salah satu rekan relawan dalam perjalanan itu,
memutuskan untuk turun dari bak truk,
berniat membantu menenangkan keadaan. Ciut nyaliku, saat mendengar percakapan dengan
nada tinggi yang mereka ucapkan. Maklumlah, terbiasa hidup dipulau jawa dengan
karakter dan nada bicara yang terkesan lebih kalem,
membuat kami tak bisa berbuat banyak, selain berbicara sekedar menenangkan, dan
lebih banyak mendengarkan.
Truk
kami kembali berjalan, setelah seorang polisi bersenjata lengkap datang
mengurai dan menenangkan keadaan. Aku bernafas lega, kejadian barusan tak
sampai membuat situasi bertambah chaos dan
berujung pada kontak fisik. Karena beberapa hari sebelumnya, nasib kurang baik
dialami oleh rombongan relawan lain, saat hendak mengantarkan bantuan logistik
pada kantong pengungsian. Truk mereka dihadang oleh warga yang merasa belum
tersentuh bantuan. Alhasil, semua bantuan ludes dijarah. Aku merasa beruntung
hari itu, karena puluhan kardus logistik yang berisi kebutuhan bagi pengungsi,
dan beberapa karung beras, tetap utuh. Sambil truk dyna yang kami tumpangi terus melaju berdesir membelah angin yang semakin
keras menerpa kami.
Pohon-pohon
disepanjang sisi kiri dan kanan jalan mulai kuat menari-nari bersama sang Angin.
Awan dan langit pun sepertinya memikirkan hal yang sama, dibuatnya hitam pekat rona
mereka, sebagai tanda setuju bahwa hujan diperkenankan untuk turun.
Aku
dan ajik membuka ikatan pada kedua ujung depan terpal yang semula menutupi bak truk, Kemudian kami membuat terpal
tersebut menutupi tubuh, untuk menghindari air hujan yang turun, dengan
menyisakan sebuah celah kecil sebagai ruang udara untuk bernapas. Selepas itu
rebahlah tubuh lelah kami dibawahnya. Cahaya matahari samar-samar menembus
terpal, kamipun tertawa, melihat warna kulit kami yang berubah aneh, menjadi
biru karena terpapar cahaya matahari yang berbaur dengan warna terpal.
Ya,
perjalanan yang sedang kutempuh kali ini adalah sebuah perjalanan kemanusiaan.
Dengan kebulatan tekad, kuputuskan untuk menjadi seorang relawan, meski aku
sendiri merasa kurang nyaman dengan ‘tanda’ tersebut. Aku merasa lebih pantas
disebut seorang mahasiswa yang ‘tak tau
diri’, pandai membual dengan angan dan mimpi-mimpi kosong yang sering
kulontarkan. Apalagi dengan status mahasiwa akhir dengan sejuta perkara skripsi
yang kutinggalkan begitu saja. Tentu saja, hal tersebut menambah gelar baru
bagiku, yaitu mahasiwa yang tidak bertanggung jawab (M.TBJ).
Padahal
satu hari sebelum keberangkatan telah kuhubungi Dosen pembimbing, untuk
mendapatkan ijin sekaligus restu. Maklum, sebagai mahasiswa yang memiliki tugas
akhir, aku tak ingin keberangkatanku menuju lokasi bencana, hanya keberangkatan
tanpa tujuan yang seolah-olah, hanya sebagai ajang pelarian dari tugas yang
diberikan oleh Dosen pembimbing. Meski hanya via pesan singkat, namun tiap pesan yang kutulis penuh pertimbangan dan
pemikiran yang dalam, tentu saja agar sang Dosen meresetuiku. Setengah hari aku
memikirkan kata yang tepat untuk isi pesan tersebut. Bahkan untuk mengirimkan
pesan, dengan menekan tombol ‘Send’ saja,
masih kutimang-timang dengan perasaan cemas dan takut. Pikiran-pikiran payah
dan jelek selalu mengerogoti nyali, yang tersimpan di hati dan otakku. “apakah
aku akan dimaki?” “apakah pesanku diabaikan, kemudian bimbingan dibatalkan?” atau
pertanyaan paling menusuk ini, “apakah aku akan benar-benar lulus dan lolos
sebagai mahasiswa?”dan begitu seterusnya pertanyaan-pertanyaan itu muncul
mengisi setiap ruang kosong dikepalaku.
“Sudahlah,
aku bisa melalui ini” aku bergumam dalam hati dan berusaha menguatkan diri. Sambil
menikmati irama goyangan-goyang truk diatas jalan yang bergelombang. Empat jam
sudah kami berada di atas truk, tanpa tahu kapan truk ini tiba di desa yang
kami tuju. Sambil membayangkan wajah ibu di kampung halaman yang kembali menghantui
pikiranku. Ibu sendiri tak merestui sama sekali keberangkatanku. Jika mengikuti
jalan pikirannya, sekolah-kuliah adalah nomor satu.
“Nak,
lebih baik kau selesaikan tugas akhirmu dari pada pergi ke tempat yang
berbahaya seperti itu, apakah kau hendak menyetorkan nyawa?” begitulah
kira-kira isi percakapan bersama ibu, via pesan suara saat kuhubungi. Ada niatanku untuk membantah, tapi kuurungkan
untuk menghindari perdebatan yang lebih jauh. Aku tak ingin menjadi anak yang
durhaka, karena menentang perintah orang tua. Apalagi sampai terkena azab
ataupun karma seperti cerita rakyat Malin Kundang, yang dikutuk menjadi batu.
Sekali lagi, untuk kasus ini aku berusaha lebih banyak mendengar dari pada
membalas bersuara. Lagi pula aku telah menang satu langkah, karena lebih dulu
sampai di lokasi bencana saat meminta ijin.
Dan mau tak mau beliau tetap memberikan
ijin serta doa restu, agar anak laki-lakinya diberikan keselamatan dan
lindungan oleh yang Kuasa.
Masih
di deru perjalanan bersama truk dyna yang
kutumpangi, kuingat kembali pakaian-pakaian rapi nan cantik juga tampan, pada
teman-teman mahasiswaku. Yang berjalan dengan pongahnya di selasar gedung
perkuliahan. Beberapa diantara mereka tertawa bahagia selepas jam belajar
selesai. Bangku-bangku panjang ditaman pun penuh dengan hiruk pikuk para ‘kuli
ilmu’ berdialektika. Aman dan nyaman, itulah kondisi yang bisa digambarkan
terhadap teman-teman mahasiswaku disebrang pulau sana, dibandingkan dengan
keadaan sekitarku saat ini. Bak langit dan bumi. Ya, setiap harinya wajahku tak
hentinya bertatap muka dengan orang-orang penuh cemas dan takut. Meski
terkadang rasa itu disembunyikannya dibalik senyum dan tawa mereka. Rasa kuatir
terhadap isi perut menyeruak dibalik garis-garis wajah mereka, rasa kuatir
terhadap gejolak bumi yang bisa sewaktu-waktu terguncang kembali, bahkan rasa
kehilangan mendalam terhadap sanak saudara yang tak tahu dimana rimbanya, yang
mungkin hilang ditelan bumi atapun yang lenyap tersapu gelombang air laut. Ibaku
bersama orang-orang malang ini.
Masih
terkait teman-teman mahasiswaku, yang senantiasa menikmati suara burung-burung
yang beradu padu, diantara daun-daun yang gemerisik tertiup angin, di taman
kampus. Masih ingin kusempalkan serapahku pada kalian yang bergaya ‘borjuis’. Apakah
telinga batin kalian masih bisa mendengarkan suara-suara perut kelaparan di
tanah Celebes ini? Sementara kalian dengan mudahnya menghamburkan beribu-ribu
butir nasi. Atau kalian yang masih senantiasa menghamburkan ‘wang-wang’ kalian,
pada kedai-kedai makanan berlabel ‘gengsi’ itu? Hanya ada satu tanyaku “maukah
kalian sedikit merasakan kesedihan orang-orang malang ini sobat?”
Laju
truk yang perlahan melambat, lantas membuyarkan khayalanku. Kusingkapkan terpal dari badan ku, begitu juga dengan ajik. Dan terlihat
sepemandangan mata kami, kumpulan tenda-tenda pengungsian yang terbuat dari bahan
semi permanen jauh tersebar di tanah lapang diujung Desa. Orang-orang mulai
ramai bermunculan, dengan muka penuh tanya dan harap-harap cemas. Sepertinya
mereka mengetahui maksud kedatangan kami, yang tiba dengan satu bak truk penuh
dengan logistik. Tentu saja kehadiran kami bak gula yang sedang jatuh diantara
kerubungan sarang semut. Ramai .
Kemudian
truk kami berhenti pada sebuah bangunan yang tinggi, dan kosong. Dinding-dindingnya terlihat retak.
Warna dan lapisan dinding yang terluar
mulai pudar dan mengelupas. Disitulah ternyata tempat logistik akan diletakkan,
sebuah gedung sekolah yang sudah tak terpakai dan nyaris roboh.
Maka
mulailah satu persatu barang diturunkan oleh beberapa warga yang membantu.
Estafet dan saling bahu membahu. Berbagai macam logistik diturunkan,
kardus-kardu berisi biskuit, susu dan beberapa keperluan pokok yang lain
mendominasi bantuan yang kami bawa, selain karung-karung berisi beras berukuran
dua puluh lima kilo. Semula semua itu berjalan tertib, namun situasi berubah
kacau saat pembagian logistik mulai dilakukan. Beberapa warga menganggap jumlah
logistik yang dibagikan tidak merata dan terkesan tidak adil. Tentu saja hal
tersebut memicu emosi warga yang lain, hingga situasi berujung chaos. Teriakan-teriakan berisi kalimat kalimat yang aku sendiri
tidak memahami arti sebenarnya, namun dapat kutangkap maksudnya dari raut wajah
dan mimik yang mereka ekspresikan. Aku kembali Takut, sangat Takut.
Kutarik
baju ajik, kubisikan padanya “jika tidak menguntungkan, baiknya kita pergi” Ia
mengangguk mengerti. Maka berusahalah kami membantu menenangkan keadaan meski
nyali kami tak ada satu gengam pun,dan lagi-lagi usaha kami tak banyak
membuahkan hasil, selain hanya menjadi pendengar atas percekcokan yang terjadi.
Ketidakmampuan kami dalam mengendalikan keadaan memang tidak bisa salahkan,
karena disatu sisi kami bukanlah orang yang cepat memahami karakter masyarakat setempat, seperti gaya bahasa adat istiadat dan kebiasaan
sehari-hari. Maklum, keberadaan kami yang baru nyaris satu minggu, membuat kami
seolah-olah mengalami shock culture yang
cukup keras.
Namun
Situasi yang panas itu berakhir, setelah ada seorang warga yang mengambil alih
komando. Entah datang darimana, nampaknya orang itu cukup dipandang dan
dihormati. Terlihat dari gaya ia bertutur dan berpakaian, serta
pembawaanya yang berwibawa dan menenangkan bagi siapa saja yang mendengarkan. Kali
ini aku benar-benar heran terhadap semesta, sekali lagi saat situasi pelik yang
nyaris tak berujung, sang Pemutar alam semesta seolah-olah punya caranya
sendiri untuk menunjukan kuasa dan kebesarannya. Disaat manusia-manusia lemah
sepertiku mulai merasa takut dan tidak percaya, selalu saja datang pertolongan
yang datang tiba-tiba disaat yang tepat. Aku benar-benar percaya keberadaanNya,
meski jiwa dan laku sprituilku selalu abai dan ragu akan-Nya. Ah, beruntung dan
terkutuklah aku. Manusia yang selalu menafikan kuasa besar Semesta.
Patutlah aku bersyukur akan semua peristiwa yang telah terjadi dihadapanku. Tak bisa dipungkiri, hal tersebut telah menuntunku pada sebuah pejalanan spiritual tentang hidup, meski perasaan
cemas masih menyelinap diantara relung batin yang penuh sesak dengan berjuta
tanya “Apakah hatiku tertinggal disana?” ah, kiranya kelak aku akan kembali,
untuk memungut reremah hatiku yang terjatuh disana, entah itu bersamamu,
bersamanya atau tak siapapun selain aku seorang diri. Sepi .
Sekian.
beragamakan
Kemanusiaan.
BerTuhankan
Hati nurani.
Tau kah kau
Kasih?
Begitulah
Hakekatnya
Manusia...
Kemanusiaan.
BerTuhankan
Hati nurani.
Tau kah kau
Kasih?
Begitulah
Hakekatnya
Manusia...
Blognya masih tak pantau 👍👍
ReplyDeleteSiap, monggo selalu dipantau
Delete👍
Delete